Dualisme Kepemimpinan Nasional

Dualisme Kepemimpinan Gara-Gara PKI

Dualisme kepemimpinan adalah adanya dua pemimpin yang punya kewenangan yang sama. Dalam perihal ini maksudnya bukan pada pemimpin dan wakil pemimpin yah. Tapi maksudnya pemimpin dalam jabatan yang setara, sehingga keduanya punya tugas, tanggung jawab dan kuasa yang serupa satu dengan yang lainnya. Dalam sebuah organisasi layaknya organisasi masyarakat, partai, atau organisasi lain yang punya hierarki, ada dua pemimpin menyebabkan terjadinya dua sentimen, dua kubu dan pandangan. Sekalipun sebuah organisasi disatukan oleh visi dan misi yang sama, pada kenyataannya seorang pemimpin dapat membuat keputusan dan mengarahkan anggotanya untuk punya satu suara. Dengan kata lain, pemimpin sebagai figur dan media pemersatu.

Sekalipun begitu, Indonesia dulu pernah ada dalam keadaan begitu. Tepatnya dualisme kepemimpinan nasional berlangsung pada awal tahun 1966. Sejarah mencatat dua kepemimpinan Indonesia terjadi di mana pada waktu itu Presiden Soekarno masih menjadi seorang Presiden Republik Indonesia yang memimpin pemerintahan dan juga Soeharto yang di mana punya mandat untuk melaksanakan pelaksanaan pada pemerintahan.

 

Situasi ini diawali oleh sebuah momen berdarah yakni Gerakan 30 September dikenal juga dengan singkatan G30S PKI. G30S merupakan gerakan kudeta yang dituding dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) di bawah pimpinan DN Aidit.  Tujuannya adalah untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Sukarno dan merubah Indonesia menjadi negara komunis. Di malam 1 Oktober 1965, Gerakan ini mengincar perwira tinggi TNI AD. Tiga dari enam orang yang menjadi target langsung dibunuh di kediamannya.

Sedangkan yang lainnya diculik dan dibawa menuju Lubang Buaya, sebuah desa berwujud hutan karet yang sepi penduduk. Keenam petinggi TNI Angkatan Darat yang menjadi target momen ini adalah:

  1. Letnan Jendral Anumerta Ahmad Yani
  2. Mayor Jendral Raden Soeprapto
  3. Mayor Jendral Mas Tirtodarmo Haryono
  4. Mayor Jendral Siswondo Parman
  5. Brigadir Jendral Donald Isaac Panjaitan
  6. Brigadir Jendral Sutoyo Siswodiharjo

Panglima TNI AH Nasution yang berhasil meloloskan diri. Namun, putrinya Ade Irma Nasution tewas tertembak dan ajudannya, Lettu Pierre Andreas Tendean diculik dan ditembak di Lubang Buaya. Setelah momen pembantaian ini, keenam korban G30S tersebut juga Lettu Pierre Tendean setelah itu ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi dan 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila.

 

Gejolak Politik

Belum berakhir sampai ditemukan dan terbongkarnya pemberontakan PKI. Peristiwa ini makin lama bergulir dan membawa dampak pergolakan politik di tanah air, di mana Presiden Soekarno dimintai pertanggung jawabannya atas persitiwa ini, Tahun 1965 sampai tahun 1967 menjadi tahun paling berat bagi Presiden Soekarno sebelum akan lengsernya beliau dari pemerintahan.

Soekarno diminta mempertanggungjawaban kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) terkait G30S/PKI tahun 1965. Puncaknya, pada 11 Maret 1966. Demonstrasi mahasiswa besar-besaran berjalan di depan Istana Negara.
Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto pun berharap supaya Soekarno memberikan surat perintah untuk mengatasi konflik bila diberi kepercayaan.

Pada 11 Maret 1996 sore di Istana Bogor, Soekarno menandatangani surat yang memuat perintah kepada Soeharto untuk mengambil alih segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan. Surat perintah ini, dikenal dengansebutan Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret).

Dianggap telah mengantongi restu Presiden lewat Supersemar, Soeharto mengambil alih sejumlah ketentuan lewat SK Presiden No 1/3/1966 tertanggal 12 Maret 1966 atas nama Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Mandataris MPRS/PBR.

Keputusan tersebut adalah:

  • Pembubaran PKI beserta ormasnya dan menyatakannya sebagai partai terlarang,
  • Penangkapan 15 menteri yang terlibat atau pun menolong G30S
  • Pemurnian MPRS dan instansi negara lainnya dari unsur PKI dan menempatkan peranan instansi itu sesuai UUD 1945.

PKI kemudian dinyatakan sebagai penggerak kudeta dan para tokohnya diburu dan ditangkap, termasuk DN Aidit yang kabur ke Jawa Tengah. Anggota organisasi yang diakui simpatisan atau terkait dengan PKI juga ditangkap. Organisasi tersebut antara lain Lekra, CGMI, Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia, Gerakan Wanita Indonesia dan lainnya.

Cukup memilukan kejadian pembantaian yang terjadi di tanah air, dikarenakan tak sekedar oleh pemerintah dan militer, sebagian kelompok juga ikut mendukung gagasan dalam menghalau PKI yang tidak sejalan dengan idealisme Pancasila. Mereka menghancurkan markas PKI yang ada di bermacam daerah. Pada akhir 1965, diperkirakan lebih kurang 500.000 sampai satu juta pendukung PKI dianggap menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya diasingkan. 

Masih terkait dengan G30S, dualisme kepemimpinan mulai terasa di mana Presiden Soekarno kehilangan pamornya yang kian merosot dikarenakan momen G30S PKI. Beliau diakui tidak aspiratif pada tuntutan rakyat yang mendesak supaya PKI dibubarkan.

Ditambah lagi dengan ditolaknya pidato pertanggungjawabannya sampai dua kali oleh MPRS. Dimana rakyat menuntut kebijaksanaan Presiden tentang pemberontakan kontra-revolusi G30S/ PKI, kemunduran ekonomi, dan kemerosotan akhlak, tetapi pidatonya diakui hanya seperti laporan rutin tanpa mengupas momen tersebut.

Pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno yang berjudul Nawaksara yang disampaikan pada tanggal 5 Juli 1966 dihadapan Sidang Umum ke-IV MPRS tidak diterima dengan mengeluarkan Keputusan No. 13/B/1967 tentang Tanggapan Terhadap Kelengkapan Pidato Nawaksara, yang isinya: MENOLAK KELENGKAPAN PIDATO NAWAKSARA.

 

Akhir dari Dualisme Kepemimpinan Nasional

Dalam pemerintahan yang masih dipimpin oleh Presiden Soekarno, Soeharto sebagai pengemban Supersemar, diberi mandat oleh MPRS untuk membentuk kabinet, yang diberi nama Kabinet Ampera. Meskipun Soekarno masih memimpin sebagai pemimpin kabinet, tetapi pelaksanaan pimpinan dan tugas harian dipegang oleh Soeharto. Kondisi ini memperkuat munculnya “dualisme kepemimpinan nasional”, yaitu Soekarno sebagai pimpinan pemerintahan namun Soeharto sebagai pelaksana pemerintahan.

Dalam suasana seperti ini dapat membahayakan bagi persatuan dan kesatuan bangsa, dimana menjadi pertentangan pada politik yang terjadi di masyarakat. Hal ini memicu terbentuknya dua kubu masyakarakat yang mendukung Soekarno dan Soeharto.

Masih dalam suasana dan usaha-usaha untuk menenangkan krisis dan politik. Beberapa pihak berharap Presiden Soekarno supaya menyerahkan kekuasaan kepada pengemban ketentuan MPRS RI No. IX/MPRS/1966, yaitu Jenderal Soeharto. Hal ini mempunyai tujuan untuk menahan perpecahan di kalangan masyarakat termasuk menyelamatkan lembaga kepresidenan dan Presiden Soekarno sendiri.

Mr. Hardi seorang kawan baik Presiden Soekarno, menemui beliau dan memohon supaya Presiden Soekarno memprakarsai untuk mengakhiri dualisme kepemimpinan negara. Februari 1967, Presiden Soekarno menyususn “Surat Penugasan tentang Pimpinan Pemerintahan Sehari-hari kepada Pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966” atas usul sahabatnya itu dan mengirimkannya pada Jendral Soeharto.

Soeharto membahas surat Presiden dengan keempat Panglima Angkatan. Para panglima berkesimpulan bahwa draft surat tersebut tidak dapat diterima sebab bentuk surat penugasan tersebut tidak membantu menyelesaikan suasana konfik.

Demi meredam kericuhan, Presiden Soekarno berada dalam suasana sulit, dimana ia diberi pengajuan yang memuat pernyataan bahwa Presiden berhalangan, atau menyerahkan kekuasaan kepada Pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966. Yang artinya, Presiden Soekarno dengan sukarela menyetujui untuk mengundurkan diri sebagai Presiden RI. Tak lama berselang, setelah berbagai pertimbangan dan mungkin terbaik. Presiden menyetujui draft yang dibuat.